SEJARAH KOPERASI DI INDONESIA
Kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia ketika itu masih cenderung bersifat tradisional namun hubungan perdagangan antara Indonesia dengan beberapa negara Eropa cenderung meningkat. Namun didorong oleh keserakahan pedagang-pedagang bangsa Eropa itu untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, hubungan perdagangan itu kemudian berubah menjadi keinginan untuk menguasai. Akibatnya terjadi penindasan, penderita inilah kemudian yang telah menggugah semangat pemuka-pemuka bangsa Indonesia untuk berjuang memperbaiki kehidupan masyarakat.
A. Zaman Belanda
Perkenalan bangsa Indonesia dengan Koperasi dimulai pada penghujung abad ke-19, tepatnya pada tahun 1895. Ditengah-tengah penderitaan masyarakat Indonesia R. Aria Wiriaatmaja, seorang patih di Purwokerto, mempelopori berdirinya sebuah bank yang bertujuan menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh lintah darat. Usaha ini dapat persetujuan dan dukungan dari Residen Purwokerto E. Sieburg. Badan usahanya berbentuk Koperasi dan dibberi naman Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank).
Pelayanan bank itu semula masih terbatas untuk kalangan pegawai pamong praja rendahan yang dipandang memikul beban utang terlalu berat. pada tahun 1898, atas bantuan E. Sieburg dan Dewolff Van Westerrode jangkauan pelayanan bank itu diperluas ke sektor pertanian (Hulp-Spaar en Lanbouwcrediet Bank), yaitu dengan meniru pole pertanian yang dikembangkan di Jerman (Raiffeisen).
Dengan tumbuhnya kesadaran berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia, maka para pelopor pergerakan nasional semakin menggiatkan usahanya untuk menggunakan Koperasi sebagai sarana perjuangannya. Melalui Budi Utomo (1908), Raden Sutomo berusaha mengambangkan Koperasi rumah tangga. Tapi karena kesadaran masyarakat Koperasi masih kurang rendah, usahanya ini kurang bergitu berhasil. Koperasi-koperasi rumah tangga ini umumnya tidak mendapat dukungan yang diharapkan dari warga.
Kemudian sekitar tahun 1913, Serikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam, mempelopori juga pendirian beberapa jenis Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan. Hambatan formal dari pemerintah colonial Belanda tampak jelas dengan diterapkannya peraturan Koperasi No. 431 tahun 1915. Menurut Undang-undang ini, syarat administrative yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang ingin mendirikan Koperasi dibuat sangat berat, baik yang menyangkut masalah perizinan, pembiayaan maupun masalah-masalah teknis saat pendirian dan selama Koperasi menjalankan usahanya, tetapi oleh Dr. J. H. Boeke pada tahun 1920, peraturan itu ditinjau kembali dan menjadi peraturan Koperasi No. 91 tahun 1927
Setelah itu perkembangan Koperasi di Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda yang mengembirakan. Adalah The Studi Club 1928, sebagai kelompok kaum intelektual, yang kemudian sangat menyadari peranan Koperasi sebagai salah satu alat perjuangan bangsa. Organisasi ini menganjurkan kepada para anggotanya untuk ikut mempelopori pendirian perkumpulan Koperasi dilingkungan tempat tinggalnya masing-masing.
B. Zaman Jepang
Pada bulan Maret 1942 Jepang merebut kendali keuasaan di Indonesia dari tangan Belanda. Selama masa pendudukan Jepang, antara tahun 1942-1945, dan sesuai dengan sifat kemiliteran penduduk Jepang, usaha-usaha Koperasi di Indonesia dibatasi hanya untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dikobarkan oleh Jepang.
Sesuai dengan perintah peraturan militer Jepang No. 23 pasal 2, yang menyatakan bahwa pendirian perkumpulan (termasuk Koperasi) dan persidangan harus mendapat persetujuan dari pemerintah setempat. Denagn berlakunya peraturan tersebut maka peraturak Koperasi yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi. Akibatnya, perkumpulan Koperasi yang berdiri berdasarkan peraturan pemerintah Belanda harus mendapatkan persetujuan dari Sucholkan.
Satu hal yang perlu dicatat, paad zaman Jepang ini dikembangkan suatu model Koperasi yang terkenal dengan sebutan Kumiai. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, ia bertugas menyalurkan barang-barang kebutuhan pokok rakyat. Propoganda yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Jepang berhasil meyakinkan maskyarakat bahwa Kumai dididrikan untuk meningkatkan kesejarteraan mereka, sehingga mendapat simpati yang cukup luas dari mesyarakat.
C. Periode 1945-1967
Setelah memperoleh keredekaan, bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan kebijakan ekonominya. Suatu hal yang sangat jelas pada periode ini adalah menonjolnya tekad para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengubah tatanan perekonomian yang sesuai dengan semangat pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.
Sebagaimana diketahui, dalam pasal 33 UUD 1945, semangat Koperasi ditempatkan sebagai dasar perekonomian bangsa Indonesia. Melalui pasal itu, bangsa Indonesia bermaksud untuk menyusun suatu system perekonomian usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 itu, tidak lain dari Koperasi sebagaimana dikemukakan di dalam penjelasan pasal tersebut.
Sejalan dengan perkembangan situasi politik dalam negeri yang tidak begitu mengembirakan itu, antara lain dengan dikeluarkannya dekrit Presiden tangan 5 Juli 1959, maka keberadaan Koperasi terpaksa disesuaikan dengan perkembangan kebijaksanaan politik pemerintah pada masa itu. UU Koperasi No. 79/1958, misalnya yang disahkan berdasarkan ketentuan UUDS 1950, menjadi tidak sesuai lagi dengan kebijakan politik dan ekonomi Pemerintah. Pemerintah kemudian memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60/1959, sebagai pengganti UU No. 79/1958.
Namun situasi yang cukup mengembirakan tersebut segera berakhir dengan diterbitkannya UU Koperai No. 14/1965 sebagai pengganti PP No. 60/1959 dan memberlakukan. Penggatian Undang-undang ini menyebabkan perkembangan Koperasi kembali memburuk. Hal yang sangat menonjol pada masa ini adalah sulitnya bagi seseorang menjadi anggota koperasi, tanpa menggabungkan diri sebagai anggota kelompok politik tertentu.
D. Periode 1967-1998
Untuk mengatasi situasi yang tidak menggembirakan tersebut, serta menyusul jatuhnya pemerintahan Soekarno pada tahun 1966, Pemerintah orde Baru kemudian memberlakukan Undang-undang No. 12/1967 sebagai pengganti UU No. 14/1965. Pemberlakuan UU No. 12/1967 ini disusul dengan dilakukannya rehabilitasi Koperasi. Akibatnya, jumlah Koperasi pada tahun 1966 berjumlah sebanyak 73.406 buah, dengan anggota sebanyak 11.775.930 orang, pada tahun 1967, terpaksa dibubarkan atau membubarkan diri. Jumlah Koperasi pada akhirtahun 1969 hanya tinggal sekitar 13.949 buah, dengan jumlah anggota sebanyak 2.723.056 orang.
Tapi kemudian, menyusul iberlakukannya UU No. 12/1967, Koperasi mulai berkembang kembali. Salah satu program pengambangan Koperasi yang cukup menonjol pada masa ini adalah pemebntukan Koperasi Unit Desa (KUD). Pembentukan KUD ini meupakan penyatuan (amalgamasi) dari beebrapa Koperasi pertanian yang kecil dan banyak jumlahnya di perdesaan. Di samping itu, dalam periode ini, pengembangan Koperasi juga diintegrasikan dengan pembangunan di bidang-bidang lain
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar